Pages

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Configure your calendar archive widget - Edit archive widget - Flat List - Newest first - Choose any Month/Year Format

Senin, 24 Desember 2007

Selamat Datang Pendekar-Pendekar A-Azhar

Oleh: Adian Husaini

Pada hari Sabtu (15 Desember 2007), INSISTS mengadakan acara tasyakkur atas kelulusan peneliti INSISTS, Fahmi Salim Zubair MA, sebagai master dalam bidang tafsir di Universitas al-Azhar Kairo. Pada 4 Desember 2007 lalu, Fahmi Salim dinyatakan lulus dengan predikat Summa Cum Laude (Penghargaan Tingkat Pertama), setelah berhasil mempertahankan Tesis-nya yang berjudul "KHITHABAT DA'WA FALSAFAT AL-TA'WIL AL-HERMENUTHIQI LI AL-QURAN; 'ARDL WA NAQD " (Studi analitis-kritis diskursus filsafat Hermeneutika Al-Quran).

Fahmi menyelesaikan tesisnya di bawah bimbingan dua guru besar Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Quran, yaitu Prof. Dr. Abdul Hayyi Husein Al-Farmawi dan Prof. Dr. Abdul Badi' Abu Hasyim. Adapun para penguji tesis Fahmi Salim adalah: Prof. Dr. Salim Abdul Kholik Abdul Hamid (Guru besar Tafsir dan ilmu-ilmu Al-Quran) dan Prof. Dr. Ali Hasan Sulaiman (Guru besar dan Ketua Jurusan Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Quran, Fakultas Dirasat Islamiyah, Univ. Al-Azhar).

Tentu saja, prestasi akademik Fahmi Salim ini bukan hal yang biasa. Ini termasuk luar biasa. Selain meraih penghargaan tertinggi, diakui oleh para penguji, bahwa tesis Fahmi Salim adalah tesis pertama di Universitas Al-Azhar yang mengupas tuntas tentang Hermeneutika Al-Quran. Karena itulah, tesis ini direkomendasikan agar dicetak atas biaya universitas dan didistribusikan ke universitas-universitas lain.

Di tengah 'kegandrungan' kalangan akademisi di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia untuk menggusur Ilmu Tafsir dan menggantikannya dengan hemeneutika, tesis Fahmi Salim ini menjadi sangat bermakna. Melalui tesisnya, Fahmi Salim berhasil mengupas hakekat hermeneutika sebagai ilmu atau seni memahami teks yang sudah lama berkembang dan mengakar dalam teologi, filsafat dan sastra barat. Perspektif hermeneutika filosofis atas pemahaman eksistensial secara umum dan pemahaman teks secara khusus merupakan terobosan mutakhir dan tidak pernah dikenal sebelumnya. Diskusi dan perdebatan seputar sah tidaknya aplikasi hermeneutika untuk Al-Quran juga betul-betul tidak ada presedennya dalam benak para ulama muslim yang masih meyakini keampuhan metode tafsir dan takwil klasik dalam memecahkan isu-isu kontemporer.

Upaya aplikasi hermenuetika untuk menafsirkan Al-Quran memang telah menggugat teori penafsiran klasik sebagaimana dalam pembahasan Ushul Fiqh dan Ulumul Quran. Tesis ini memaparkan beberapa hal penting, yakni: perbandingan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dan hermeneutika di Barat dan akar-akar historis bagi upaya penerapan hermeneutika dalam kajian Al-Quran. Bab ketiga mendiskusikan secara kritis-analitis berbagai isu utama dan mendasar dari teori tafsir model hermeneutika semisal (1) klaim historisitas wahyu/teks Al-Quran dan pengaruhnya terhadap konsep I'jaz Al-Quran, sejarah kodifikasi Al-Quran dan pentakwilan Al-Quran, (2) klaim kritik literatur/sastra dan kritik sejarah atas wahyu Al-Quran dan biasnya terhadap konsep kisah-kisah Al-Quran dan prinsip-prinsip semiotika Al-Quran, (3) klaim hubungan dialektis-materialis antara wahyu Allah yang absolut dan realitas manusia yang nisbi dan biasnya terhadap konsep 'Sababun Nuzul' dan serta mengubah hukum yang pasti (Qath'iyyat) di dalam Al-Quran.

Dengan tesisnya tersebut, kita patut bersyukur, karena baru pertama kalinya, ada seorang sarjana tafsir dari al-Azhar yang sekaligus mendalami masalah hermeneutika. Lebih penting lagi, selama ini Fami Salim juga dikenal cukup aktif dalam menulis dan mengajar. Harapan kita semua, ilmunya bermanfaat untuk menjernihkan masalah hermeneutika dan selama ini dianggap sebagai alternatif tafsir untuk menggusur metode tafsir klasik yang telah digunakan umat Islam selama lebih dari 1400 tahun.

Sebagaimana telah kita uraikan pada banyak tulisan, masalah hermeneutika ini sangat penting untuk dikaji dan ditelaah, karena inilah salah satu pintu masuk yang sangat stretegis untuk meliberalkan ajaran Islam, sebagaimana telah dilakukan oleh kaum Kristen liberal. Berulangkali kita mengimbau dan menjelaskan, tidak seyogyanya para cendekiawan Muslim mudah terlena dan terpukau dengan hal-hal baru yang kelihatan gemerlap, yang datang dari Barat, padahal tidak berkhasiat, bahkan membawa mafsadat bagi umat.

Namun, pada sisi yang lain, kita juga mengakui, bahwa para Sarjana Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Quran di Indonesia perlu bekerja keras untuk mewujudkan literatur-literatur dalam Studi Al-Quran yang tidak keluar dari konsep keilmuan Islam, tetapi sekaligus juga mampu menjawab tantangan zaman. Kita patut bersedih, bahwa selama ini, banyak sarjana Tafsir dan Ulumul Quran yang mumpuni keilmuannya, tetapi tidak sanggup menulis atau tidak ada waktu untuk menulis buku-buku yang berkualitas ilmiah yang tinggi karena ada kesibukan lain. Karena itu, sekali lagi, kita patut bersyukur atas prestasi luar biasa yang diraih oleh Fahmi Salim dan berharap dia mampu merintis jalan baru dalam menggairahkan studi Al-Quran di Indonesia.

Sebenarnya, disamping Fahmi Salim, kita juga sedang menunggu kepulangan seorang doktor dalam bidang syariah yang berhasil meraih gelar doktornya pada 21 Oktober 2007 dari Universitas al-Azhar. Namanya Dr. Ahmad Zain An-Najah. Pria asal Klaten ini berhasil mempertahankan disertasi doktornya dengan judul "Al-Qadhi Husain wa Atsaruhu Al-Fiqhiyah". Ketua Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia perwakilan Mesir ini juga lulus dengan predikat Summa Cum Laude, setelah berhasil mempertahankan disertasinya di bawah bimbingan pakar fikih perbandingan ( fiqh muqarin) Prof. Abdullah Said serta Prof. Ahmad Karima dan diuji di hadapan sidang penguji yang terdiri atas Prof. Sa'duddin Hilaly dan Prof. Ibrahim Badawi.

Zain an-Najah meraih gelar S-1 nya di Universitas Islam Madinah. Selama ini, Zain an-Najah juga menjadi ketua Majlis Tarjih dan Tajdid Pengurus Cabang Istimewa Muhammadiyah Kairo. Dengan prestasi yang sangat tinggi itu, tentu kita berharap, Dr. Zain an-Najah akan segera kembali ke Indonesia dan mengaktifkan diri dalam perjuangan penegakan aqidah dan syariah Islam di Indonesia, yang tak henti-hentinya menghadapi tantangan hebat dari berbagai kalangan, baik dalam maupun luar negeri.

Sebab, kadang kita banyak menerima pertanyaan, mengapa yang aktif dalam perjuangan penegakan syariah justru bukan sarjana syariah? Sebaliknya, mengapa semakin banyak bermunculan sarjana-sarjana syariah yang justru aktif menolak syariah. Bukan rahasia lagi, sekarang ini banyak dosen syariah yang aktif berjuang merombak hukum Islam yang dianggap tidak sesuai dengan konsep HAM dan kesetaraan gender. Seorang mahasiswa S-2 bidang syariah di Bandung bercerita bahwa pada sesi-sesi kuliah yang dia ikuti, jarang sekali ada dosen yang menekankan perlunya syariah Islam ditegakkan. Bahkan, banyak yang mengajarkan perlunya Dekonstruksi Syariah. Karena itu, dalam situasi yang seperti ini, kita memang berharap banyak pada para pakar syariah seperti Dr. Zain an-Najah ini.

Tetapi, kita sadar bahwa iklim Indonesia saat ini tidaklah kondusif bagi para sarjana agama yang berkualitas. Begitu mereka balik ke negerinya sendiri, maka mereka akan dihadapkan pada situasi yang serba sulit. Tidak banyak kalangan umat yang antusias menyambut kedatangan mereka. Banyak yang tidak peduli. Jangan ditanya lagi sikap pemerintah, termasuk yang bergerak di bidang pendidikan. Nyaris mustahil untuk berharap, orang-orang seperti Fahmi Salim atau Zain an-Najah akan disambut dan dijamu oleh Presiden di kediamannya, sebagaimana peserta Asian Idols. Jangan berharap juga, para menteri akan berlomba-lomba memberi penghargaan ratusan juta rupiah, seperti penghargaan yang diterima oleh peraih medali emas di Sea Games.

Juga, kita tidak mudah berharap, orang-orang kaya di negeri kita berbondong-bondong menginfakkan hartanya untuk mendukung perjuangan para intelektual berbakat seperti Fahmi Salim dan Zain an-Najah. Jangan pula berharap, para pejabat atau pimpinan partai Islam berebut mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan para sarjana Muslim ini bandara. Kita maklum, dalam era kejayaan para selebritis ini, hanya para penghibur yang akan mendapat penghargaan tinggi. Media massa kita rata-rata belum tertarik mengangkat berita-berita seperti ini, sebab dinilai bukan berita yang "bisa dijual". Hingga kini, hanya mereka yang berjaya dalam dunia olah raga dan hiburan yang akan mendapat tempat tehormat di media massa.

Inilah kondisi negara dan masyarakat yang sakit, masyarakat yang jauh dari tradisi ilmu. Masyarakat yang tidak menghargai ilmu dan para ilmuwan. Pada saat bersamaan dengan Sea Games di Thailand, di negara yang sama, sejumlah pelajar Indonesia juga berhasil meraih prestasi yang menggembIraqan dalam Olimpiade Astronomi dan Astro-Fisika. Tapi, berita itu pun tidak seheboh berita kemenangan beberapa atlit Indonesia di Sea Games.

Kita maklum akan kondisi negara dan masyarakat seperti itu. Kondisi ini bukan untuk diratapi. Justru, inilah tantangan besar dan menarik yang harus diatasi oleh para intelektual seperti Fahmi Salim atau Zain an-Najah. Tidak sepatutnya para intelektual itu menyerah pada keadaan. Mereka sudah dikaruniai ilmu yang tinggi oleh Allah SWT. Amat sedikit orang Muslim yang berhasil meraih prestasi akademik yang tinggi di Universitas al-Azhar. Ilmu dan prestasi yang mereka raih adalah amanah dari Allah, yang harus digunakan untuk perjuangan Islam.

Pada CAP-213 yang lalu, kita menelaah riwayat hidup Mohamamd Natsir, tokoh yang berani mengambil pilihan terjun ke kancah perjuangan umat, meskipun mendapat kesempatan kuliah di Batavia untuk menjadi Meester in de Rechten. Ketika itu, terbuka juga peluang Natsir untuk menjadi pegawai negeri dengan gaji tinggi. Tapi, Natsir memilih jalan yang jarang dipikirkan oleh orang banyak ketika itu. Dia memilih terjun langsung dalam kancah perjuangan umat; mengamalkan ilmunya untuk aktif sebagai guru di sekolah Islam dan berdakwah di tengah masyarakat. Ia lebih memilih hidup di tengah umat dan merasakan langsung detak nadi jantung kehidupan umat Islam.

Natsir adalah orang yang haus ilmu. Disamping terus menimba ilmu kepada para ulama, terutama A. Hassan, di Kota Bandung, Natsir mulai aktif dalam organisasi Jong Islamiten Bond (JIB). Di sini dia sempat berinteraksi dengan para cendekiawan dan aktivis Islam terkemuka seperti Prawoto Mangkusasmito, Haji Agus Salim, dan lain-lain. Sejak duduk di bangku sekolah AMS (setingkat SMA), Natsir sudah mulai terlibat dalam polemik tentang pemikiran Islam. Pengalaman pertama terjadi ketika seluruh kelasnya diundang oleh guru gambar untuk menghadiri pidato seorang pendeta Kristen bernama Ds. Christoffels, tahun 1929. Pidatonya berjudul "Quran en Evangelie" dan "Muhammad als Profeet". Meskipun disampaikan dengan gaya yang lembut, Natsir melihat pidato si pendeta itu sesungguhnya menyerang Islam secara halus. Esoknya, pidato itu dimuat di surat kabar "A.I.D." (Algemeen Indish Dagblad). Natsir kemudian menulis artikel yang menjawab opini sang pendeta, melalui koran yang sama.

Natsir bukan orang yang menumpuk-numpuk ilmu di kepalanya untuk sekedar dihafal atau disimpan dalam benaknya sendiri. Pengalamannya dalam perjuangan Islam telah membawanya kepada cakrawala baru. Natsir memimpin Jong Islameten Bond cabang Bandung tahun 1928-1932. Ia sudah biasa menulis dan berceramah dalam bahasa Belanda – bahasa kaum terpelajar saat itu. Ketika duduk di kelas akhir AMS, Natsir sudah menulis kitab Pengajaran Shalat dalam bahasa Belanda dengan judul "Komt tot het gebed".

Berkaca pada pengalaman Nastir itu, kita berharap, para sarjana dan cendekiawan Muslim bersedia menimba pelajaran dan pengalaman langsung dalam kancah perjuangan umat. Dalam arena perjuangan inilah, akan dirasakan nikmatnya ilmu dan perjuangan.

Sekali lagi, kita ucapkan selamat kepada Fahmi Salim MA dan Dr. Zain an-Najah. Kita tunggu kiprah mereka dalam kancah perjuangan umat Islam di Indonesia yang tak henti-hentinya dirongrong paham-paham yang merusak aqidah dan pemikiran Islam. Semoga, kehadiran mereka di Indonesia, menambah daftar para 'Pendekar al-Azhar' yang mengajarkan "ilmu putih" yang ampuh dalam pembinaan aqidah umat dan sekaligus 'membereskan' beberapa rekan seperguruan mereka yang kini aktif menyebarkan 'ilmu hitam' ke tengah masyarakat.  [Depok, 21 Desember 2007/www.hidayatullah.com]